Sabtu, 21 Desember 2013
Kehancuran hutan di Papua menjadi isu hangat akhir-akhir ini. Bahkan isunya menjadi penarikan tersendiri dari komplesitas masalah lain di Papua. Banyak orang baik individu maupun lembaga nasional bahkan internasional menarik hati untuk memakan hutan di Papua. Mereka sungguh dapat merasakan kenikmatan dari hutan Papua bagaikan madu ini. Justru karena rasanya enak, maka semua pihak mengeksploitasi hutan di Papua tanpa mempertimbangkan dampak bahaya bagi masyarakat Papua. Ketika hutan dan kekayaan sumber alam dieksploitasi keluar Papua, apa yang didapat oleh masyarakat setempat di Tanah Papua?
Hutan Papua Bagaikan Madu
Hutan Papua sebagai sumber hidup orang Papua. Hutan memberikan makanan dan susu kehidupan bagi orang setempat. Hutan selalu menyediakan segala keperluan orang Papua khususnya berkaitan dengan kebutuhan hidup. Karena itu, orang Papua tidak merasakan kekurangan dalam melangsungkan kebutuhan hidupnya. Maka itu, hutan dilihat sebagai komunitas yang tak terpisahkan dengan orang Papua.
Hutan bukan kesendirian, bukan pula kekosongan, bukan untuk pemakaian belaka, dan juga bukan komunitas keterpisahaan. Tetapi hutan sebagai kesatuan komunitas yang menyatu dengan orang Papua. Karena hutan dan orang Papua saling menyatu, maka dapat dilihat sebagai satu komunitas yang tak terpisahkan sehingga hutan selalu memberikan susu dan madu untuk kelangsungan hidup bagi orang Papua. Orang Papua memandang hutan sebagai mama yang memberikan susu dan madu.
Beranekaragam hutan di Papua begitu menakjubkan dan mengembirakan bagi semua orang. Maka itu, segala isinya dari hutan adalah kekhasan dan keunikan tersendiri di negeri ini. Kekhasan dan keunikan dalam hutan dapat memberikan warna harapan bahwa Papua merupakan surga kecil yang jatuh ke bumi.
Stop Eksploitasi Hutan Di Papua
Hutan adalah habitat atau tempat banyak spesies pohon, tanaman, hewan dan burung liar. Biodiversitas hayati spesies-spesies ini hilang ketika hutan dibabat. Berbagai jenis pohon menjadi langka sebagai akibat pembabatan hutan. Pohon-pohon yang bernilai di hutan Papua, kini tidak bersisa satu pohon pun. Demikian juga kehilangan banyak sekali jenis hewan, burung, dan serangga, yang bergantung pada habitat yang terdapat di hutan itu. Hewan dan burung menjadi punah akibat kehilangan tempat tinggalnya.
“Stop Eksploitasi Alam Papua”, “Papua Not for Sale”, adalah dua kalimat pada spanduk panjang yang dibentangkan puluhan mahasiswa di sebuah ruas jalan utama di pusat Kota Manokwari, Papua Barat. Mereka juga meneriakkan yel-yel, “Lindung-lindung alam Papua, lindung alam Papua sekarang juga” sejak November 2009. Di tengah orasi, dipertontonkan aksi yang menggambarkan hutan dan tumbuh-tumbuhan ditebang oleh kaki tangan pengusaha dari perusahaan multinasional yang ingin mengeruk kekayaan di bumi Papua. Beberapa lelaki berjas memegang telpon genggam mengatur penebangan pohon-pohon di hutan yang dilakukan oleh para pekerja. Babak selanjutnya, banjir bah datang menerjang rumah dan kebun-kebun masyarakat di sekitar hutan. Akhirnya, masyarakat Papua menangis kehilangan hutan dan alam yang menghidupi mereka berpuluh-puluh tahun. Mereka menangisi alam mereka yang luluh lantak dan hidup yang hancur. “Dorang merusak semuanya.”
Hutan Papua dipandang enak bisa konsumsi bahkan dimakan oleh pelahap kelas dunia baik tingkat nasional maupun Internasional. Justru karena memberikan susu dan madu, maka para feodal dan kapitalisme sedang melirik hutan Papua untuk dimakan habis-habisan oleh penguasa kelas dunia. Bukan hanya sebatas melirik, tetapi telah memakannya sampai sepuas-puasnya sehingga memperoleh keuntungan yang paling berlimpah dari bumi Papua. Namun ketika kita melihat suasana hidup masyarakat Papua, mereka mengeluh atas hidupnya, sumber daya alamnya yang dikerok oleh penguasa kapitalisme sehingga masyarakat setempat diperdaya oleh kapitalis kelas kakap dunia.
Perhatian pemerintah dinilai hanya terfokus pada kekayaan alam luar biasa di tanah Papua serta lebih memberi jaminan keamanan bagi kegiatan eksploitasi perusahaan asing. Selain itu, pemerintah dinilai lebih melindungi kekayaan alam Papua daripada masyarakat asli Papua. "Orang Papua katakan pemerintah suka emas Papua, bukan mas Papua. Itulah pendapat di masyarakat Papua”, Pastor Neles Kebadabii Tebay, dosen misiologi Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur, Abepura, Papua, saat diskusi "Pulihkan Hak Hidup Masyarakat Adat” di Jakarta (baca Kompas edisi, 30 Januari 2010).
Perlindungan Hak Hidup Orang Papua
Persoalan mendasar di Papua bukan kesejahteraan, bukan pula persoalan keamanan, bukan juga persoalan ekonomi. Persoalan mendasar masyarakat Papua bukan isu separatis atau TPN/OPM, melainkan kekhawatiran tantang keberlanjutan hak hidup orang Papua dan alamnya. Orang Papua sedang khawatir suatu saat orang Papua yang hidup di Pulau ini akan punah di negerinya sendiri. Masyarakat asli Papua menganggap anggota komunitasnya tidak hanya orang-orang hidup, tetapi juga komunitas yang sudah meninggal seperti para leluhur. Bahkan, anggota komunitas mereka mencakup tanah, gunung, batu, sungai, danau, binatang, dan roh. Walau orang Papua merasa bagian dari komunitasnya, tetapi pencurian telah masuk sejak 1967 melalui kerjasama antara Pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia dengan pendekatan perusahan PT Freeport Indonesia di Timika-Papua. Perusahan PT Freeport ambil emas dan tembaga di puncak Gunung di Papua yang dianggap sebagai bagian dari komunitas mereka. Semua komunitas hidup: roh, Batu, Tanah, gunung, air sungai dan danau bahkan laut mereka sebut mama. Sebagai mama, maka mama siapkan susu dan madu bagi orang Papua. Pengerukan puncak gunung berarti pengerukan otak mama. Kalau otak mama dikeruk, maka akan berdampak pada anak-anaknya (masyarakat) di Tanah Papua.
Perlawanan para gerilyawan Papua sejak tahun 1963 hingga tahun 2013 merupakan bentuk perlawanan kepada pihak-pihak pengeksploitasi kekayaan alam yang akan mengancam hak hidup warga Papua. Militer kemudian membalas dengan operasi besar-besaran untuk memberantas kaum yang dianggap separatis itu. Karena itu, saat ini ada perbedaan persepsi tentang faktor yang mengancam hak hidup antara rakyat Papua dan pemerintah. Perbedaan itu lalu menghambat proses pemulihan hak hidup rakyat Papua. Maka perlu ada dialog antara pemerintah di Jakarta dengan rakyat Papua (bdk, Kompas edisi 30 Januari 2010).
Saya merasa bahwa ada persoalan yang mesti dibangun dan dipulihkan oleh Negara Indonesia di Papua. Persoalannya adalah perlindungan hak hidup dari genocide. Orang Papua mengalami berbagai persoalan dan persoalan itu sangat yang kompleks. Kompleksitas persoalan pada orang Papua mengarah pada diskriminatif, kolonialistik dan diperlakukan tidak memanusiakan bagi setempat bahkan kehilangan hak hidupnya dan bahkan hak hidup atas sumber daya alam dari negeri Papua. Saya teringat kembali sebuah kata di spanduk yang berbunyi, “Ko tra tahu apa yang tong alami. Indonesia dorang hanya lihat tong sebagai obyek dan proyek. Dong tra pernah tahu apa yang ada dalam hati orang Papua” saat Mama-Mama Pedagang Asli Papua di Jayapura sejak 2010.
Mendadak saya termenung dengan ungkapan Mama-Mama Papua dalam spanduk itu. Kemudian saya berpikir bahwa persoalan di Papua belum tuntas walaupun pendekatan demi pendekatan dilakukan oleh pemerintah Indonesia tetapi selalu saja gagal di Papua. Berbagai miliyaran rupiah hadir di Papua namun semuanya sia-sia. Karena di situ adanya kepentingan Jakarta bukan kepentingan orang Papua sehingga hutan Papua menjadi makanan sedap bagi pemerintah Indonesia dan para kapitalis kelas kakap dunia. Orang asli Papua tidak mendapatkan hasil eksploitasi alam Papua oleh perusahan manapun di Papua. Mereka merasa kehilangan harta kekayaan alamnya dari negeri surga kecil yang jatuh ke bumi (Papua). Maka itu, masyarakat Papua menyerukan bahwa “Stop Eksploitasi Alam Papua”dan “Hentikan Kehadiran Berbagai Perusahan di Papua”. Demikian!!
Oleh: Santon Tekege, Penulis: Mahasiswa Pasca Sarjana pada STFT-Fajar Timur Abepura-Papua
Sumber:http://www.pasificpost.com
Hutan Papua Bagaikan Madu
Hutan Papua sebagai sumber hidup orang Papua. Hutan memberikan makanan dan susu kehidupan bagi orang setempat. Hutan selalu menyediakan segala keperluan orang Papua khususnya berkaitan dengan kebutuhan hidup. Karena itu, orang Papua tidak merasakan kekurangan dalam melangsungkan kebutuhan hidupnya. Maka itu, hutan dilihat sebagai komunitas yang tak terpisahkan dengan orang Papua.
Hutan bukan kesendirian, bukan pula kekosongan, bukan untuk pemakaian belaka, dan juga bukan komunitas keterpisahaan. Tetapi hutan sebagai kesatuan komunitas yang menyatu dengan orang Papua. Karena hutan dan orang Papua saling menyatu, maka dapat dilihat sebagai satu komunitas yang tak terpisahkan sehingga hutan selalu memberikan susu dan madu untuk kelangsungan hidup bagi orang Papua. Orang Papua memandang hutan sebagai mama yang memberikan susu dan madu.
Beranekaragam hutan di Papua begitu menakjubkan dan mengembirakan bagi semua orang. Maka itu, segala isinya dari hutan adalah kekhasan dan keunikan tersendiri di negeri ini. Kekhasan dan keunikan dalam hutan dapat memberikan warna harapan bahwa Papua merupakan surga kecil yang jatuh ke bumi.
Stop Eksploitasi Hutan Di Papua
Hutan adalah habitat atau tempat banyak spesies pohon, tanaman, hewan dan burung liar. Biodiversitas hayati spesies-spesies ini hilang ketika hutan dibabat. Berbagai jenis pohon menjadi langka sebagai akibat pembabatan hutan. Pohon-pohon yang bernilai di hutan Papua, kini tidak bersisa satu pohon pun. Demikian juga kehilangan banyak sekali jenis hewan, burung, dan serangga, yang bergantung pada habitat yang terdapat di hutan itu. Hewan dan burung menjadi punah akibat kehilangan tempat tinggalnya.
“Stop Eksploitasi Alam Papua”, “Papua Not for Sale”, adalah dua kalimat pada spanduk panjang yang dibentangkan puluhan mahasiswa di sebuah ruas jalan utama di pusat Kota Manokwari, Papua Barat. Mereka juga meneriakkan yel-yel, “Lindung-lindung alam Papua, lindung alam Papua sekarang juga” sejak November 2009. Di tengah orasi, dipertontonkan aksi yang menggambarkan hutan dan tumbuh-tumbuhan ditebang oleh kaki tangan pengusaha dari perusahaan multinasional yang ingin mengeruk kekayaan di bumi Papua. Beberapa lelaki berjas memegang telpon genggam mengatur penebangan pohon-pohon di hutan yang dilakukan oleh para pekerja. Babak selanjutnya, banjir bah datang menerjang rumah dan kebun-kebun masyarakat di sekitar hutan. Akhirnya, masyarakat Papua menangis kehilangan hutan dan alam yang menghidupi mereka berpuluh-puluh tahun. Mereka menangisi alam mereka yang luluh lantak dan hidup yang hancur. “Dorang merusak semuanya.”
Hutan Papua dipandang enak bisa konsumsi bahkan dimakan oleh pelahap kelas dunia baik tingkat nasional maupun Internasional. Justru karena memberikan susu dan madu, maka para feodal dan kapitalisme sedang melirik hutan Papua untuk dimakan habis-habisan oleh penguasa kelas dunia. Bukan hanya sebatas melirik, tetapi telah memakannya sampai sepuas-puasnya sehingga memperoleh keuntungan yang paling berlimpah dari bumi Papua. Namun ketika kita melihat suasana hidup masyarakat Papua, mereka mengeluh atas hidupnya, sumber daya alamnya yang dikerok oleh penguasa kapitalisme sehingga masyarakat setempat diperdaya oleh kapitalis kelas kakap dunia.
Perhatian pemerintah dinilai hanya terfokus pada kekayaan alam luar biasa di tanah Papua serta lebih memberi jaminan keamanan bagi kegiatan eksploitasi perusahaan asing. Selain itu, pemerintah dinilai lebih melindungi kekayaan alam Papua daripada masyarakat asli Papua. "Orang Papua katakan pemerintah suka emas Papua, bukan mas Papua. Itulah pendapat di masyarakat Papua”, Pastor Neles Kebadabii Tebay, dosen misiologi Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur, Abepura, Papua, saat diskusi "Pulihkan Hak Hidup Masyarakat Adat” di Jakarta (baca Kompas edisi, 30 Januari 2010).
Perlindungan Hak Hidup Orang Papua
Persoalan mendasar di Papua bukan kesejahteraan, bukan pula persoalan keamanan, bukan juga persoalan ekonomi. Persoalan mendasar masyarakat Papua bukan isu separatis atau TPN/OPM, melainkan kekhawatiran tantang keberlanjutan hak hidup orang Papua dan alamnya. Orang Papua sedang khawatir suatu saat orang Papua yang hidup di Pulau ini akan punah di negerinya sendiri. Masyarakat asli Papua menganggap anggota komunitasnya tidak hanya orang-orang hidup, tetapi juga komunitas yang sudah meninggal seperti para leluhur. Bahkan, anggota komunitas mereka mencakup tanah, gunung, batu, sungai, danau, binatang, dan roh. Walau orang Papua merasa bagian dari komunitasnya, tetapi pencurian telah masuk sejak 1967 melalui kerjasama antara Pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia dengan pendekatan perusahan PT Freeport Indonesia di Timika-Papua. Perusahan PT Freeport ambil emas dan tembaga di puncak Gunung di Papua yang dianggap sebagai bagian dari komunitas mereka. Semua komunitas hidup: roh, Batu, Tanah, gunung, air sungai dan danau bahkan laut mereka sebut mama. Sebagai mama, maka mama siapkan susu dan madu bagi orang Papua. Pengerukan puncak gunung berarti pengerukan otak mama. Kalau otak mama dikeruk, maka akan berdampak pada anak-anaknya (masyarakat) di Tanah Papua.
Perlawanan para gerilyawan Papua sejak tahun 1963 hingga tahun 2013 merupakan bentuk perlawanan kepada pihak-pihak pengeksploitasi kekayaan alam yang akan mengancam hak hidup warga Papua. Militer kemudian membalas dengan operasi besar-besaran untuk memberantas kaum yang dianggap separatis itu. Karena itu, saat ini ada perbedaan persepsi tentang faktor yang mengancam hak hidup antara rakyat Papua dan pemerintah. Perbedaan itu lalu menghambat proses pemulihan hak hidup rakyat Papua. Maka perlu ada dialog antara pemerintah di Jakarta dengan rakyat Papua (bdk, Kompas edisi 30 Januari 2010).
Saya merasa bahwa ada persoalan yang mesti dibangun dan dipulihkan oleh Negara Indonesia di Papua. Persoalannya adalah perlindungan hak hidup dari genocide. Orang Papua mengalami berbagai persoalan dan persoalan itu sangat yang kompleks. Kompleksitas persoalan pada orang Papua mengarah pada diskriminatif, kolonialistik dan diperlakukan tidak memanusiakan bagi setempat bahkan kehilangan hak hidupnya dan bahkan hak hidup atas sumber daya alam dari negeri Papua. Saya teringat kembali sebuah kata di spanduk yang berbunyi, “Ko tra tahu apa yang tong alami. Indonesia dorang hanya lihat tong sebagai obyek dan proyek. Dong tra pernah tahu apa yang ada dalam hati orang Papua” saat Mama-Mama Pedagang Asli Papua di Jayapura sejak 2010.
Mendadak saya termenung dengan ungkapan Mama-Mama Papua dalam spanduk itu. Kemudian saya berpikir bahwa persoalan di Papua belum tuntas walaupun pendekatan demi pendekatan dilakukan oleh pemerintah Indonesia tetapi selalu saja gagal di Papua. Berbagai miliyaran rupiah hadir di Papua namun semuanya sia-sia. Karena di situ adanya kepentingan Jakarta bukan kepentingan orang Papua sehingga hutan Papua menjadi makanan sedap bagi pemerintah Indonesia dan para kapitalis kelas kakap dunia. Orang asli Papua tidak mendapatkan hasil eksploitasi alam Papua oleh perusahan manapun di Papua. Mereka merasa kehilangan harta kekayaan alamnya dari negeri surga kecil yang jatuh ke bumi (Papua). Maka itu, masyarakat Papua menyerukan bahwa “Stop Eksploitasi Alam Papua”dan “Hentikan Kehadiran Berbagai Perusahan di Papua”. Demikian!!
Oleh: Santon Tekege, Penulis: Mahasiswa Pasca Sarjana pada STFT-Fajar Timur Abepura-Papua
Sumber:http://www.pasificpost.com
No comments:
Post a Comment