PENEMUAN PAPUA - Papuan Curls

Breaking

Post Top Ad

Refreendum For West Papua

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Saturday, April 11, 2015

PENEMUAN PAPUA

Map of Papua, Indonesia
Papua merupakan daerah yang sangat khususnya bagi Penjajahan Indonesia.
        Wilayah tersebut praktis berbeda dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia , baik Sumatera,Kalimantan, Jawa, Sulawesi maupun Maluku, Kekhususan atau Perbedaan tersebut terlihat dari kehidupan sosilogis, buadaya, serta sejarah bergabungnya dengan Penjajahan Indonesia . Jika sebagian besar Indonesia bearsal dari ras Austronesia, maka Penduduk asli Papua adalah Ras Melanesia yang termasuk di dalamnya dengan Kaledonia Baru, Fiji, Salomon, dan New Hebrides. Persamaan  dari Wilayah ini adalah Penduduknya yang berambut Kriting, mengusahakan pertanian dengan umbi dan talas. Penggalian Arkeologi di pedalaman Papua menunjukkan bahwa pendudukan asli di wilayah ini telah hidup sejak 10 ribu tahun lalu atau hidup sejak akhir  era Pleistocence. Bukti-bukti tersebut di temukan para arkeologi dari Universitas Groningen (Belanda) ketika melakukan Penggalian di Kawasan Danau Ayamary, Vogelkop.  Mereka melakukan penggalian sejak tahun 1995 hingga awal 2001, strata habitat para sejarah di dalam gua di Kria dan Toe, menemukan peralatan dan sisa-sisa makanan sperti tulang kanguru, burung kasuari , ikan dan ular.
 Temuan ini sama dengan hasil pengalian yang dilakukan para arkeologi di wilayah Papua Nugini dan Australia Utara, di mana mereka menemukan belasan jarum dari tulang ikan dan sisa-sisa  tulang Manusia. Di dua tempat terpisah ini, para arkeologi memperkirakan telah ada kehidupan sejak 40 kehidupan tahun lalu.
Pola kehidupan masyrakat tradisional yang berkaitan dengan bukti-bukti pada zaman Pleistocene masih biasa di jumpai sebagian besar wilayah itu sampai pada awal 80-an. Mereka hidup di hutan belantara, terpencil dan terpisah dari dunia luar, layaknya manusia hidup jaman primitive atau jaman batu, seringkali melakukan perang suku , dan percaya dengan takhayul.
    Mereka melakukan usaha tani dan menagkap ikan secara tradisioanl hanya hanya sekedar untuk menuambung hidup. Masyrakat Papua yang tinggal di daratan rendah dan rawa-rawa mengandalkan hidup dari makanan sagu, yang menjadi sumber protein. Papua sendiri merupakan wilayah pengahasil sagu ( metroxylon sagu ) terbesar di dunia. Sedangkan Masyarakat yang tinggal di daratan tinggi melakukan usaha pertanian dengan menanam umbi-umbian , seperti taro dan ubi jalar. Mereka juga berburu babi dan binatang liar lainnya untuk konsumsi dan keperluan makanan sehari-hari.
Tata cara kehidupan tradisional atau primitif yang di jalani masyarakat papua selama ribuan tahun membuat wilayah tersebut menjadi salah satu daerah terkaya di kawasan Asia Tenggara. Masyarakat menjalani nilai-nilai tradisioanl untuk menjaga sumber kehidupan mereka, seperti larangan berburu di daerah tertentu, memakan hasil hutan yang berlebihan, dan menyisihkan tempat-tempat khgusus yang berkaitan dengan legenda atau mitodologi suku atau desa.  Kehidupan seperti ini secara tidak langsung telah ikut melestarikan alam Papua, sehimngga dapat memelihara Hutan beserta seluruh sumber alamnya dan menjaga kehidupan.
Tetapi setelah kaum pendatang menginjakkan kakinya di Papua, Kehidupan Kondisi wilayah itu menjadi berubah. Di beberapa daerah masih di temukan berbagai kasus perang suku, tetapi secara umum kehidupan suku asli sudah lebih teratur.Upaya mempertahankan hidup dengan cara memperladangan berpindah semakin berkurang, bersama dengan masuknya kelompok agama anggota misi dan usaha perdamaian. Kebijakan sentralisasi seperti membangun rumah sakit, sekolah dan prasarana admnistratif lainnya secara perlahan telah mengubah pola hidup masyarakat asli Papua.
Ketika pelaut dan  pedang Eropa mendarat di papua awal abad 15 sampai dengan 20, perubahan tersebut belum terlalu mencolok. Pemerintah Kolonial Belanda telah melakukan Explorasi dan produksi minyak mentah di beberapa tempat, tetapi mereka tetap memperhatikan tanah dan hak ulayat masyarakat setempat. Mereka masih dapat menikmati seluruh sumber kekayaan alam yang mereka miliki. Mereka juga masih menjalani tata cara kehidupan sesuai dengan peninggalan nenek moyang mereka.
Kondisi di Papua menjadi benar-benar berubah, setelah pemeinrintah Indonesia melakukan eksploitasi besar-besaran seluruh kekayaan alam Papua dengan tanpa memperhatikan masyarakat setempat. Salah satu kongkrit dan sering menjadi perdebatan umum adalah penggalian tambang di Timika. Pegunungan Jayawiya yang melibatkan tambang PT.Freeport tanggal 7 April 1967 dan di mulai kegiatan penambangan pada tahun 1972, sebanyak 16 ton biji besi yang di sedot dari wilayah itu setiap harinya. Penggalian tambang secara gila-gilaan ‘ itu tidak hanya merusak linkungan, tetapi juga memaksa suku amungme yang telah mendiami daerah itu sejak ratusan tahun tersebut tersingkir. Suku Amungme juga kehilangan ribuan tanaman sagu yang tersapu oleh limbah Freeport.
Bersamaan dengan itu, Pemerintah Indonesia menerapkan program transmigrasi yang menjadi salah satu prioritas pembangunan. Program itu untuk menanggulangi masalah kepadatan Penduduk di pulau Jawa dan mengatasi kekurangan penduduk di luar Jawa, termasuk Papua. Sampai dengan awal pelita IV (1984), pemerintah secara bertahap telah memindahkan sekitar 14.000 kepala keluarga atau sekitar 60.000 jiwa dari berbagai daerah di pulau Jawa ke Papua.  Jumlah ini makin besar karena pada Pelita (Pembangunan Lima Tahun ) berikutnya, pemerintah mengirim sekitar 138.000 kepala keluarga atau sekitar 700.000 jiwa.
Kehadiran para transmigrasi mempengaruhi kehidupan dan lingkunngan alam serta masyarakat setempat. Karena bantuan dari pemerintah sangat terbatas, maka para transmigrasi mengunakan kayu sebagai bahan bakar dan memperluas bangunan . Mereka mencari konsumsi tambahan dengan berburu satwa-satwa liar. Desakan kebutuhan tersebut telah membuat para pendatang secara tidak sengaja mengganggu keseimbangan alam Papua. Apalagi sebelumnya, para kontraktor yang bertugas membebaskan lahan bagi transmigran bekerja tanpa control yang ketat . Maksudnya para pendatang mengubah tata kehidupan social, ekonomi dan politik secara permanen di Wilaya tersebut.
PENEMUAN PAPUA
  Setelah hampir empat abad sejak orang Eropa minginjak kakinya di Tanah Papua  pada abad ke-16, sedikit sekali penelitian ilmiah yang di lakukan di pulau tersebut, sehingga sedikit pula pengetahuan tentang alam, asal usul, kehidupan sosio budaya, dan sejarah masyarakat di wilayah itu. Bahkan sampai akhir tahun 1970-an, ketika pemerintah Indonesia merencanakan program pembangunan di Papua, masih sedikit sekali peta menggambarkan topografis dan demografis di wilayah itu.
Salah satu penelitian ilmiah yang menjadi pembuka bagi penelian berikut adalah ketika Alfred Russell Wallace dan kawan-kawan melakukan ekspedisi ke Papua pada Tahun 1858. Wallace dan anggota timnya melakukan penelitian biologi dan tinggal di Teluk Dorei, dekat Manokwari, selama empat bulan. Setelah itu,sejumlah peneliti dari Eropa dan Amerika terus menjelahi Sunggai Mamberamo dan mempelajari Lembah Baliem. Sejak saat itu hingga tahun 1920-an, sekitar 140 kali ekspedisi ilmiah di lakukan oleh para peneliti dari Barat.
Sebelum bangsa Barat menemukan Pulau Papua, Sultan Tidore ke- 10 yang bernama Ibnu Mansur bersama beberapa anggota ekspedisinya mennginjakkan kaki mereka ke beberapa pulau di bagian pulau Papua pada Tahun 1453. Pulau-pulau itu kemudian di jadikan taklukannya, dan di beri nama ‘Papo ua’ yang berarti tidak tergabung, atau tidak bergandengan (not integrated), atau tidak bersatu. Pengaruh kesultanan Tidore hanya sebatas pulau-pulau itu, tidak sampai ke wilayah besar pulau Papua. Namun demikian, Kesultanan mempunyai peran yang cukup besar dalam perkembangan Papua, khususnya dalam pembuat perjanjian dengan para pelaut dari Barat.
Para pelaut sendiri yang pertama kali menginjakkan kakinya di pulau Papua adalah Antonio d’ Abrau. Ia menemukan sebuah daratan besar ketika memimpin ekspedisi sejumlah pelaut Portugis pada Tahun 1511, yang kemudian ia di sebut sebagai ‘Os Papua atau ‘Ilha de Papo ia’.  Kemudian seejumlah pelau Portugis jejak Anatomi d’Abrau, melakukan pelayaran ke Papua, di antaranya adalah Fransisco Serano (1522) dan Don Jorge De Menese (1526) Meski menjadi bangsa Barat pertama yang menemukan Papua. Tetapi para pelaut Portugis tersebut tidak menjadikan tempat sebagai daerah jajahan mereka.
Setelah itu beberapa pelaut dari Spanyol, Inggris dan Belanda melakukan pelayaran sampai ke Papua. Pada tahun 1945, pelaut Spanyol Oertis  De Retes mendarat di pulau Biak dan Padaido,tetapi ia dan rombongannya tidak lama singgah di situ karena di serang oleh penduduk lokal. Meski tinggal hanya sebentar, de Retes sempat nama daerah tersebut  ‘Nova Guinea’ atau Guinea Baru. Nama ini diberikan setelah ia meliahat penduduk local yang berkulit hitam dan berambut keritinh, seperti penduduk yang jumpainya di Pantai Guinea di Afrika Barat. Sejak saat itulah, saat itulah pada peta-peta yang di kenal internasional menunjukkan wilayah tersebut sebagi Nova Guinea atau Neuva Guinea.
Para pelaut Belanda sendiri mulai menemikan dan menjelajahi Papua pada permulaan tahun 1600, ketika William Jansen anggota ekspedisinya mendarat di pulau Kai dan pantai barat Daya Papua. Berapa tahun kemudian, pelaut Belanda lainnya William Schouten dan Le Maire melakukan pelayaran di sekitar utara Papua, tepatnya di Teluk Geelvink yang sekarang di sebut Teluk Cenderawasih. Mereka juga singgah di pulau Biak. Pelaut Belanda lainnya, Jan Cantenz pada tahun sekitar 1622-1623 melakukan pelayaran di sebelah selatan Papua,guna mencari perluasan wilayah dagang bagi VOC (Veerenigde Oost-Indhische Compagnie) yang sebelumnya sudah beroperasi di pulau Jawa. Ketika melakukan pelayran itulah, Carstenz melihat puncak Gunung yang di selimuti salju.
Bersamaan dengan itu, para penjelajah asal Inggris juga sudah mulai melakukan pelayaran di sekitar pulau Papua. Tetapi baru pada tahun 1775, seorang pedagang Inggris di India, Thomas Forrest tiba di sekitar Manokwari. Lalu seorang kapten asal Inggris,Jhon Hayes mendirikan benteng Fort New Albion, tetapi benteng ini segera di hancurkan oleh pendudukan lokal. Jhon Hayes kembali mendirikan benteng pada tahun 1795 dengan bangunan yang lebih permanen, dan benteng tersebut beri nama Fort Coronation. Tetapi benteng itu kembali di hancurkan oleh pendudukan setempat setelah berdiri 21 hari. Meski begitu para saudagar Inggris perlahan-lahan menjalin hubungan dengan para pedagang dari Tidore, bahkan secara bertahap mulai mengambil alih peran perdagangan Belanda.
Munculnya persaingan dagangnya dan adanya upaya perluasan wilayah dari para pelaut Eropa, khususnya dari Inggris, telah memaksa pemerintah Belanda untuk bukti-bukti bahwa pulau Papua merupakan daerah jajahannya, dan bukan daerah bebas atau liar. Pada bulan juli 1828, pemerintah Belanda mengirim AJ Van Delden, seorang komisaris yang di kirim oleh Gubernur Belanda di Maluku, untuk membangun sebuah benteng yang dapat didiami oleh militer Belanda di Papua.
Benteng yang di bangun di Teluk Triton di kaki Gunung Lemenciri dan di beri nama ‘For de Bus’ itu di resmikan bersamaan dengan ulang tahun Raja Willem I pada 28 Agustus 1828. Pada saat itu van Delden menyatakan bahwa Papua merupakan daerah kekuasaan Belanda. Ia menyatakan bahwa…Atas nama Raja Willem I dan untuk Sri Baginda Raja Nstherland…bagian daerah New Guinea serta daerah-daerah pedalamannya yang mulai dari garis 141 derajat Bujur Timur di Pantai selatan dan dari tempat tersebut kearah barat daya dan utara sampai ke semenanjung Goede  Hoop di pantai utara Papua merupakan milik Kerajaan Belanda’. Sejak saat itu masyarakat Eropa menerima kenyataan bahwa Papua telah menjadi bagian dari jajahan Belanda, sehingga wilayah tersebut tidak boleh di miliki oleh kelompok masyarakat Eropa lainnya.
Setelah itu Belanda memperjelaskan batas-batas wilayah kekuasaan di pulau tersebut lewat kesepakatan dengan pemerintah Inggris yang menguasai Papua sebelah timur. Dalam pertemuan di Gravenhagen (Belanda) pada 16 Mei 1895, kedua Negara sepkat atas wilayah masing-masing di pulau Papua dengan titik sampai bertemu dengan sungai Fly. Garis Wilayah ini oleh pemerintah Belanda dituangkan secara resmi dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1895 No.220 dan No.221.

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Responsive Ads Here