Monday, November 9, 2015

Melawan Lupa; Penculikan dan Pembunuhan Theys H. Eluay Oleh Kopassus Bermotif Politik (Bagian I)

Melawan Lupa; Penculikan dan Pembunuhan Theys H. Eluay Oleh Kopassus Bermotif Politik (Bagian I)
Theys Eluay ketika bertemu dengan Presiden RI, Gus Dur didampingi putrinya Yenny Wahid (Foto: Ist)
 
Pada 10 November 2001, tepatnya 13 tahun yang lalu, Pemimpin Besar Bangsa Papua Barat, Dortheys Hiyo Eluay, ditemukan tewas dalam mobilnya di Kilo Meter 9, Koya, Muara Tami, Jayapura. Belakangan diketahui, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) telah menculik dan membunuhnya. Dibawah ini laporan lengkap yang disusun Elsham Papua.
Oleh: Elsham Papua*

Pengantar

Penculikan dan pembunuhan Dortheys Hiyo Eluay (64), Ketua Presidium Dewan Papua (PDP), merupakan salah satu implikasi dari budaya militerisme dan kekebalan hukum (impunity) sejak Papua Barat (Provinsi Papua dan Papua Barat, red) dianeksasi oleh Indonesia.

Kekerasan ini berawal semenjak Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia mendeklarasikan Trikora, pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Isi Trikora, pertama bubarkan "Negara Boneka" Irian Barat buatan Belanda; kedua, mobilisasi massa; dan ketiga, kibarkan sang saka merah putih di Irian Barat.

Ketika itu, banyak rakyat sipil Papua Barat diintimidasi dan dibunuh. Sejak integrasi dengan Indonesia, pemerintah Jakarta mulai menerapkan pendekatan militer dengan melakukan operasi militer di berbagai wilayah di tanah Papua. Kurang lebih 100.000 rakyat Papua Barat di bunuh selama 38 tahun integrasi dengan Indonesia.

Proses penghancuran ini semakin meningkat terutama ketika rakyat Papua Barat menuntut memisahkan diri dari Indonesia sejak reformasi 1998, dengan jatuhnya Presiden otoriter Soeharto.

Berbagai aksi damai menuntut merdeka dihadapi dengan kekerasan, seperti peristiwa Biak berdarah, 6 Juli 1998; Sorong, 5 Juli 1999; Timika, 2 Desember 1999; Merauke, 16 Februari 2000; Nabire, 28 Februari sampai Maret 2000; Sorong, 27 Juli 2000 dan 22 Agustus 2000; Wamena, 6 Oktober 2000.

Aspirasi merdeka terus bergulir dan terungkap secara jelas dan resmi dihadapan Presiden B.J. Habibie di Istana merdeka tanggal 26 Februari 1999 oleh wakil-wakil masyarakat Papua yang tergabung dalam Tim 100. Tuntutan itu begitu mengejutkan, sehingga dijawab dengan permintaan untuk merenungkan tuntutan itu lebih dalam.

Bersamaan dengan itu, operasi rahasia terus ditingkatkan untuk meredam para aktivis Papua Barat, menjelang Kongres Rakyat Papua II 2000, yang berlangsung dari tanggal 29 Mei-4 Juni 2000.

Seminggu sebelum Kogres Rakyat Papua II 2000, Wakil Presiden Megawati mengadakan kunjungan tiba-tiba ke Papua.

Kunjungan Megawati ini disambut dengan aksi demonstrasi oleh para aktivis pro merdeka di seluruh tanah Papua. "Kesan kuat” tentang keinginan merdeka rakyat Papua Barat di berbagai tempat yang dikunjungi menjadi laporan penting bagi Megawati.

Hasil kunjungan Megawati (Wapres) disampaikan kepada Muspida Provinsi Tingkat I Papua di Jayapura. Selanjutnya, berdasarkan hasil penilaian (assessment) Megawati menjadi laporan Gubernur (Caretaker), Musiran Darmosuwito, (mantan wakil Gubernur Timor Timur) melalui radiogram ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri) tertanggal 2 Juni 2000.

Terutama, sejak mengkristalnya aspirasi Papua Merdeka pasca Kongres Papua II 2000. Ini bisa dilihat dari bocoran dokumen sangat rahasia yang telah dikeluarkan oleh Dirjen KESBANG dan LINMAS DEPDAGRI dalam nota dinas nomor 578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 tanggal 9 Juni 2000.

Bocoran dokumen tersebut berisi konsep tentang "Rencana Operasi Pengkondisian Wilayah dan Pengembangan jaringan Komunikasi Dalam menyikapi arah politik Irian Jaya (Papua) untuk merdeka dan melepaskan diri dari Negara Republik Indonesia".

Sasaran operasi meliputi, (1) pengkondisian wilayah kabupaten dan kota di Papua sampai di daerah terpencil; (2) pengembangan jaringan komunikasi dengan memanfaatkan tokoh-tokoh berpengaruh dan organisasi yang mendukung dengan kegiatan seperti membuat statement, apel akbar, dan lainnya; (3) sasaran diplomasi untuk memperoleh dukungan PBB dan negara kuat lainnya bagi kedaulatan Indonesia atas wilayah Papua.

Sedangkan metode operasi yang dikembangkan adalah, (1) klandestein (penyusupan); (2) provokasi, penangkapan aktivis politik Papua Merdeka; (3) kegiatan pembangunan; (4) program Papuanisasi dan mencegah internasionalisasi masalah Papua.

Sifat operasi adalah terbuka. Artinya, penyerangan langsung terhadap demonstrasi massa, dan tertutup (klandestein). Operasi ini selanjutnya di dukung oleh MPR dalam sidang tahunan pada Agustus 2000, dengan ketetapan bagi Papua sebagai wilayah perlu perhatian serius.

Dalam dokumen sangat rahasia itu, nama Theys Eluay berada dalam faksi adat dan pejuang. Dia satu tingkat dengan Tom Beanal (Adat), dan Yusuf Tanawani (sudah meninggal), Pdt. Herman Awom dan Dr. Karel Phil Erari (tokoh Gereja); Dr. Benny Giay dan Agus Alua (Akademisi), Drs. Jakobus Pervidya Salossa (Politisi, Gubernur Papua saat laporan ini diterbitkan, dan sudah meninggal), Simon P. Morin (Politisi), John Rumbiak dan Yohanis Bonay (ELS-HAM Papua); Gerson Abrauw dan Diaz Giwijangge (elemen mahasiswa); Beatrix Koibur dan Ketty Yabansabra (elemen perempuan).

Menurut Kantor Berita Reuters (30/11/2000), setelah konfirmasi dengan pihak DEPDAGRI mengakui adanya rapat untuk mengatasi gejolak yang oleh Jakarta disebut separatisme di Papua yang dihadiri oleh 13 instansi pemerintah di tingkat nasional.

Pihak Kepolisian Papua (Irian Jaya) menterjemahkan Rencana Operasi itu dengan membuat Telaahan Staf Tentang Upaya Polda Irian Jaya (Papua) Menanggulangi Separatis Papua Merdeka Dalam Rangka Supremasi Hukum pada bulan November 2000.

Telaahan staf ini kemudian ditindaklanjuti dengan menyusun operasi yang disebut "Operasi Sadar Matoa 2000" yang berlangsung 90 hari. Operasi ini ditunjukan kepada gerakan aktivis Papua Merdeka atau OPM dan simpatisannya.

Operasi Tuntas Matoa ini menunjukkan aparat Polisi Daerah (Polda) Papua telah memiliki dan mempersiapkan suatu rencana operasi yang sistimatis dalam bertindak terhadap apa yang mereka sebut sebagai gerakan separatis.

Kebijakan Kepolisian itu merupakan bagian dari kebijakan negara secara keseluruhan. Dua dokumen ini menunjukkan adanya unsur sistematis, yakni memperlihatkan tindakan yang terorganisir dan mengikuti pola yang berulang. (BERSAMBUNG)


*Laporan ini dibuat oleh Elsham Papua, dan diterbitkan pada 13 Desember 2001. Judul aslinya "Laporan Awal Penculikan dan Pembunuhan Theys Hiyo Eluay Terencana dan Bermotif Politik". Laporan ini diedit ulang oleh Oktovianus Pogau. Untuk mengetahui lebih jauh lembaga Elsham Papua silakan kunjungi website lembaga ini "Elsham Papua"
 

No comments:

Post a Comment