Victor Yeimo*
Aksi 2 Mei 2016 berlangsung baik dan  terhormat. Salut pada seluruh kawan yang telah terlibat dengan jiwa,  nyanyian, tarian dan kepal tangan. Kita melawan dengan hormat, untuk  mengakhiri dengan martabat.
Kepada kawan-kawan yang dipukul aparat,  saya percaya kita tidak pernah kehilangan semangat. Bukan karena pukulan  itu tidak sakit, tetapi karena kesakitan itu sedang kita tempa di dalam  perlawanan. Kita akan tuntut balik, kumpulkan bukti-bukti, lalu kita  hidangkan ke meja makan mereka, kita lagukan agar jadi pengantar tidur  mereka, kita dokumentasikan agar jadi dosa sejarah mereka. 
Kita tidak percaya hukum kolonial,  tetapi kita perlu tamparkan berkas-berkas hukum buatan mereka ke wajah  mereka sendiri. Sehingga semakin banyak orang tahu siapa sesungguhnya  yang kriminal, penyebar teror, pengganggu ketertiban sosial. Penjara dan  hukum kolonial adalah panggung pembebasan kita.
Kita lanjutkan bicara, beraksi,  bergerilya, dan bergerak menuliskan gagasan cita-cinta rakyat bangsa  Papua seindah mungkin, seterang-terangnya, seluas-seluasnya.
Itulah sebabnya Polisi melarang kita  aksi sekalipun kita lalui semua prosedur hukum dengan patuh. Mereka  memblokade massa dari titik-titik keberangkatan sejak awal. Mereka tidak  mau massa berkumpul banyak; mereka tidak mau tuntutan Papua Merdeka  didengar publik luas, yang bila dengungnya terkumpul, akan sanggup  menyisir banyak orang yang sejak pagi menanti-nanti di jalan. Negara  takut tuntutan Papua Merdeka memenangkan ruang publik.
Tetapi aksi tak berhasil digagalkan  negara walau 1733 orang di Jayapura diangkut paksa dari titik-titik aksi  ke Markas Komando Brimob. Dengan berwibawa massa aksi berhasil memaksa  negara berhadap-hadapan dengan tuntutan kita di salah satu jantung  kekuasaan mereka sendiri. Papua merdeka berhasil menangkan ruang publik.
Inilah hal penting yang harus jadi  tujuan aksi-aksi damai kita: menguasai ruang publik. Kita harus merebut  ruang itu dengan damai. Di lapangan aksi, di media sosial, di kampus, di  tempat kerja, di pasar-pasar, di sekolah, di tempat ibadah, di tempat  wisata, dst kita harus dengan bangga mengatakan ‘kita cinta damai,  karena itu kita cinta Papua Merdeka’.
Jangan biarkan ketakutan meneror kita.  Korban akibat kekerasan aparat kolonial sudah begitu banyak, tetapi  korban akibat teror ketakutan yang mereka sebarkan jauh lebih banyak  lagi. Kita boleh takut, karena takut itu manusiawi. Tetapi kita tidak  boleh dikontrol dan dikuasai oleh ketakutan. Dan kita, kawan-kawan  semua, sudah membuktikannya pada 2 Mei 2016.
Jangan terpancing pihak-pihak yang  hendak merusak prioritas perjuangan kita. Mereka bisa mencaci, atau  membakar bintang kejora dan terus menerus sebar spanduk mendeklarasikan  diri cinta NKRI. Biarkan mereka.
Sesungguhnya itu adalah tantangan bagi  kedewasaan politik kita. Kedepan akan tambah banyak yang model demikian,  kedepan aparat aparat akan memperhadapkan kita pada sesama rakyat biasa  dengan isu-isu SARA. AWAS jangan terpancing. Musuh kita jelas:  kolonialisme dan kapitalisme, bukan orang-orang yang mengais hidup dari  belas kasihan aparat militer.
Sekarang kita lihat bertambahnya  dukungan internasional di Eropa, Afrika Pasifik juga Indonesia sendiri,  terhadap kehendak kita menjadi anggota tetap di forum Melanesian  Spearhead Group dan kampanye kita, melakui IPWP, menuntut PBB mendorong  dan mengawasi referendum ulang di Papua.
Kita saksikan, walau sedikit, ada  orang-orang di Indonesia yang bekerja untuk membantu kita menekan  pemerintah Indonesia, mendorong perubahan pendekatan di Papua, untuk  mendukung kebebasan berekspresi kita di ruang publik. Memang jumlah  mereka masih sangat sedikit. Tetapi peran mereka penting, untuk membuka  tabir ketidaktahuan dan prasangka yang hidup di pikiran rakyat Indonesia  sejak orde baru hingga sekarang, terhadap tuntutan kemerdekaan kita.
Kita butuh sekutu dari seluruh dunia,  jika saja kita bisa jangkau semua. Tapi di Indonesia kita butuh  mereka-mereka yang mau bicara lantang agar semakin banyak orang  Indonesia tahu bahwa NKRI harga mati bukanlah cita-cita reformasi mereka  1945, melainkan doktrin Orde Baru pasca 65. Mereka harus bergerak lebih  maju dari sekadar mengunyah-ngunyah doktrin itu tanpa menggunakan  nalar, membuka mata dan mendengarkan.
Kita harus bantu orang-orang Indonesia  mengenal sejarahnya sendiri, dengan terus tanpa takut menyatakan sejarah  kita sendiri. Mereka harus mengenal kebangsaan mereka dari perjuangan  kebangsaan kita.
Kita bisa saksikan betapa tidak  berkualitasnya respon pemerintah Indonesia saat ini. Mereka mengaku  negeri sebagai demokrasi yang dijadikan contoh dunia, tetapi diam  terhadap penanangkapan dan kekerasan yang dialami rakyat kita. Mereka  gerah pada hasil pertemuan IPWP di Inggris, tersinggung dengan  permintaan Tim Pencari Fakta pelanggaran HAM PIF, sambil tak melakukan  langkah apapun yang nyata berpihak pada penegakan HAM rakyat kita.
Yang mereka lakukan hanyalah terus  merangkai alasan dan siasat tipu muslihat terhadap berbagai kasus  pelanggaran HAM yang mengorbankan para pendahulu kita. Mereka tidak  pernah mau akui tangan mereka berlumuran darah kita. Pengadilan HAM  hanya dongeng saja. Mereka tidak punya cukup nyali mengadili diri mereka  sendiri.
Sekarang mereka mau ganti darah dan  nyawa itu dengan investasi dan infrastruktur. Negara demokratis macam  apa itu? Jualan investasi ini sudah korbankan tanah-tanah adat  masyarakat kita, membuat masyarakat diadu domba dan baku tipu. Hutan  kita sedang dihabisi, kebudayaan kita sedang dihancurkan. Alam kehidupan  dunia sedang mereka rusak. Itulah yang mereka sebut pembangunan, dan  itulah yang kita sebut penjajahan.
Inilah medan perjuangan kita merebut  kedaulatan politik itu. Mendukung proses dan kampanye MSG dan IPWP  adalah satu hal, membangun kedaulatan politik kita lewat aksi massa  damai di ruang publik, menyuarakan seluruh persoalan rakyat bangsa  Papua, adalah hal penting lainnya. Keduanya harus berjalan beriring.
Mari kita lanjutkan. Kedepan kita tidak  saja akan penuhi jalanan dengan kehendak politik kita, namun juga  kehendak budaya, sosial, dan ekonomi sebagai bangsa yang harus merdeka.
Kita sudah di jalan perlawanan yang benar untuk mengakhiri.
—
Victor Yeimo ialah Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB)
Source:https://sosialispapua.com

No comments:
Post a Comment