“Mereka akan ke Papua untuk cari fakta pelanggaran HAM. Bukan hanya lihat kuburan, kalau perlu gali. Indonesia tidak punya pilihan kecuali izinkan tim ini turun. Di Papua, mereka (aparat-Red) boleh bakar dan tutup jejak. Tapi mereka tidak bisa tutup ratusan ribu korban yang sudah masuk ke MSG, PIF, dan UN Human Rights Council,” kata Mote, kepada Jubi, Selasa (10/11/2015).
Mote mengatakan aparat dan negara Indonesia tidak bisa genocide di pedalaman sebagaimana dilaporkan Asian Human Rights Commission dalam laporan mereka tentang kasus 1977-1978 sebagai neglected genocide.
Kalau pun nantinya Indonesia tidak mengizinkan tim pencari fakta masuk ke Indonesia, imbuh Mote, adalah hak Indonesia.
“Tidak ada yang bisa paksa. Tapi kalau tolak, Indonesia tidak akan bisa tipu dunia dan bilang tidak ada pelanggaran HAM, karena faktanya mereka tidak izinkan tim pencari fakta, pimpinan negara-negara akan putuskan langkah berikut, bila mereka ditolak,” katanya.
Sementara itu, seperti dilansir media ini beberapa waktu lalu, Emele Duituturaga, dari Asosiasi LSM Kepulauan Pasifik, atau PIANGO, mengatakan ada dua isu utama dari kelompok tersebut, yakni mereka menginginkan para pemimpin dalam Forum itu mengatasi masalah perubahan iklim dan Papua Barat.
Duituturaga mengatakan kelompok itu menginginkan perjanjian mengikat internasional tentang pengurangan emisi gas rumah kaca. Selain itu, dia juga mengatakan ini waktunya untuk melihat masalah Papua Barat.
“Kami memiliki informasi langsung dari Papua Barat atas kekejaman pelanggaran HAM. Kami tahu ini sedang dipertanyakan. Ini juga mengapa kita desak misi pencari fakta pelanggaran hak asasi manusia. Ini cukup mendesak,” kata Emele Duituturaga, mengutip Radio New Zealand. (Arnold Belau)
Sumber:http://tabloidjubi.com
No comments:
Post a Comment