Simon Petrus Sapioper (kedua dari kiri) Bersama Petinggi NGRWP (Foto: facebook) |
AMP - Gerakan pembebasan Papua yang diawali puluhan tahun telah melahirkan Seth Jafeth Roemkorem yang memproklamasikan kemerdekaan Papua 1 Juli 1971 di Waris, Papua sebagai sentral dari gerakan itu sendiri dimana sejarahnya hampir terkubur seiring berjalannya waktu.
Hal ini tentu tidak terjadi begitu saja. Kepergian tokoh-tokoh penting Papua pada awal 1980-an bersama gelombang terbesar kedua pengungsi politik Papua setelah Kasus 1977 di wilayah Pegunungan Papua. Gerakan ini sendiri tidak mati dan terus hidup di Negeri Belanda. Seth Roemkorem bersama kabinetnya terus melakukan berbagai lobi politik kepada banyak negara selama kurun waktu tersebut.
Aprila Wayar, Pemimpin Redaksi The Papua Journal mendapat kesempatan melakukan wawancara melalui internet dengan Simon Sapioper, Menteri Luar Negeri, National Government of The Republic of West Papua (NGRWP), Minggu (17/01/2016) yang dalam wawancara tersebut, mendesak semua elemen gerakan di Papua untuk segera melakukan konsolidasi internal.
Aprila Wayar (AW) : Selamat Malam Pak Simon.
Simon Sapioper (SS) : Selamat Malam Saudari.
AW : Saya langsung pada wawancara saya malam ini Pak Simon.
SS : Baik.
AW : Bagaimana situasi Papua saat ini dalam pandangan Pak Simon?
SS : Saat ini Papua menghadapi tantangan. Tantangan yang saya maksud di sini adalah bahwa Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dalam menghadang upaya-upaya Papua mencapai kemerdekaan setelah Indonesia mengetahui Kabinet Kedua NGRWP dengan presiden terpilih Amos Indei dideklarasikan di Den Haag pada 2009 lalu. Saat itu Roemkorem masih hidup dan berbagai upaya kemudian dilakukan Indonesia. Berbagai upaya sebenarnya telah intens dilakukan Indonesia sebelumnya seperti membunuh Theys Hiyo Eluays pada 2001 lalu, penguatan struktur Dewan Adat Papua dimana Indonesia memasukan orang-orang Papua yang loyal pada Indonesia agar gerakan pembebasan semakin lemah.
Pembentukan kabinet kedua NGRWP pada 2009 ini melibatkan Amos Indey, Dan Kafiar, Maori dan lainnya tetapi proses ini tidak melibatkan Nicolas Youwe yang kemudian meninggalkan NGRWP dan bekerja dengan Indonesia.
AW : Artinya bahwa ada konflik internal di dalam tubuh NGRWP sendiri saat ini? Ada juga banyak faksi yang saat ini berjuang bagi pembebasan Papua. Bagaimana Pak Simon melihat hal ini?
SS : Saya terlibat secara resmi dengan NGRWP sejak 2008. Saya melihat konstruksi perjuangan sebenarnya baik. Masalahnya ada pada sikap individu yang mempertahankan keinginannya. Bagi saya, pekerjaan paling serius yang tidak diperhatikan kelompok lain adalah masalah registrasi perjuangan. Semua kelompok dan faksi yang berjuang saat ini di Papua tidak teregistrasi secara administrasi dengan baik. Saya menilai kelompok-kelompok ini tidak paham dengan gerakan dan bekerja tanpa status dan piagam dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Inisiatif kelompok berdiri sendiri tanpa berada di bawah payung OPM. Hal ini membuat muncul berbagai kelompok ‘bayangan’ yang bukan lagi rahasia.
Saya ingin cerita sedikit, ketika Pater Neles Tebay, penggagas Dialog Jakarta Papua pertama kali datang ke Den Haag, bertemu dengan Roemkorem dan saya. Kami memintanya untuk berjuang bersama kami tetapi ditolaknya. Ada titipan kami untuk 150 kepala suku di Papua yang hendak menggelar Kongres Rakyat Papua III saat itu tetapi tidak pernah sampai karena ‘lupa’ kata Neles Tebay saat kedatangannya yang kedua, kami mengkonfirmasi keberadaan titipan tersebut. Neles Tebay juga mengaku dirinya yang menunjuk lima juru bicara Papua di luar negeri. Bagi saya, ini adalah strategi yang digunakan Indonesia untuk mengacaukan komunikasi diantara kami.
AW : Ini hal yang baru bagi saya Pak Simon. Kita lanjut ke pertanyaan berikutnya. Apa yang menjadi fokus kerja Pak Simon bersama NGRWP saat ini?
SS : Prioritas kami mencari pengakuan terhadap Proklamasi 1 Juli 1971 karena tanpa pengakuan, kekuatan untuk melawan terlalu kecil. Ini langkah yang sudah diambil selama ini dan wujud dari upaya ini adalah NGRWP menjadi anggota Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO) yang memiliki kantor di dua negara yaitu Brusel dan Belanda. Ada banyak kemajuan yang kami peroleh setelah menjadi anggota UNPO. Selain itu, Senegal pernah memberikan pengakuan pada Proklamasi 1 Juli 1971 itu kepada Bernard Tanggahma.
AW : Demikian pelik kondisi perjuangan Bangsa Papua untuk meraih kemerdekaan Pak Simon, apa solusinya?
SS : Mendesak konsolidasi dengan semua pihak untuk duduk bersama melihat masalah ini dengan serius. Dalam waktu mendatang kami ajan berupaya melakukan konsolidasi dengan kelompok-kelompok perjuangan lain yang sudah kami targetkan.
AW : Pertanyaan terakhir Pak Simon, bagaimana gerakan sayap militer NGRWP setelah kematian Richard Yoweni?
SS : Kami sangat kehilangan pemimpin besar yang mengabdikan seluruh hidupnya di hutan rimba Papua demi kemerdekaan Papua ini. Walau demikian, kami tidak akan tinggal diam, sayap militer kami tidak mati. Kami tetap eksis memperjuangkan kemerdekaan Papua.
AW : Terima kasih banyak Pak Simon untuk wawancara ini, selamat malam.
SS : Sama-sama Aprila, Selamat Malam. (The Papua Journal/Aprila)
Hal ini tentu tidak terjadi begitu saja. Kepergian tokoh-tokoh penting Papua pada awal 1980-an bersama gelombang terbesar kedua pengungsi politik Papua setelah Kasus 1977 di wilayah Pegunungan Papua. Gerakan ini sendiri tidak mati dan terus hidup di Negeri Belanda. Seth Roemkorem bersama kabinetnya terus melakukan berbagai lobi politik kepada banyak negara selama kurun waktu tersebut.
Aprila Wayar, Pemimpin Redaksi The Papua Journal mendapat kesempatan melakukan wawancara melalui internet dengan Simon Sapioper, Menteri Luar Negeri, National Government of The Republic of West Papua (NGRWP), Minggu (17/01/2016) yang dalam wawancara tersebut, mendesak semua elemen gerakan di Papua untuk segera melakukan konsolidasi internal.
Aprila Wayar (AW) : Selamat Malam Pak Simon.
Simon Sapioper (SS) : Selamat Malam Saudari.
AW : Saya langsung pada wawancara saya malam ini Pak Simon.
SS : Baik.
AW : Bagaimana situasi Papua saat ini dalam pandangan Pak Simon?
SS : Saat ini Papua menghadapi tantangan. Tantangan yang saya maksud di sini adalah bahwa Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dalam menghadang upaya-upaya Papua mencapai kemerdekaan setelah Indonesia mengetahui Kabinet Kedua NGRWP dengan presiden terpilih Amos Indei dideklarasikan di Den Haag pada 2009 lalu. Saat itu Roemkorem masih hidup dan berbagai upaya kemudian dilakukan Indonesia. Berbagai upaya sebenarnya telah intens dilakukan Indonesia sebelumnya seperti membunuh Theys Hiyo Eluays pada 2001 lalu, penguatan struktur Dewan Adat Papua dimana Indonesia memasukan orang-orang Papua yang loyal pada Indonesia agar gerakan pembebasan semakin lemah.
Pembentukan kabinet kedua NGRWP pada 2009 ini melibatkan Amos Indey, Dan Kafiar, Maori dan lainnya tetapi proses ini tidak melibatkan Nicolas Youwe yang kemudian meninggalkan NGRWP dan bekerja dengan Indonesia.
AW : Artinya bahwa ada konflik internal di dalam tubuh NGRWP sendiri saat ini? Ada juga banyak faksi yang saat ini berjuang bagi pembebasan Papua. Bagaimana Pak Simon melihat hal ini?
SS : Saya terlibat secara resmi dengan NGRWP sejak 2008. Saya melihat konstruksi perjuangan sebenarnya baik. Masalahnya ada pada sikap individu yang mempertahankan keinginannya. Bagi saya, pekerjaan paling serius yang tidak diperhatikan kelompok lain adalah masalah registrasi perjuangan. Semua kelompok dan faksi yang berjuang saat ini di Papua tidak teregistrasi secara administrasi dengan baik. Saya menilai kelompok-kelompok ini tidak paham dengan gerakan dan bekerja tanpa status dan piagam dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Inisiatif kelompok berdiri sendiri tanpa berada di bawah payung OPM. Hal ini membuat muncul berbagai kelompok ‘bayangan’ yang bukan lagi rahasia.
Saya ingin cerita sedikit, ketika Pater Neles Tebay, penggagas Dialog Jakarta Papua pertama kali datang ke Den Haag, bertemu dengan Roemkorem dan saya. Kami memintanya untuk berjuang bersama kami tetapi ditolaknya. Ada titipan kami untuk 150 kepala suku di Papua yang hendak menggelar Kongres Rakyat Papua III saat itu tetapi tidak pernah sampai karena ‘lupa’ kata Neles Tebay saat kedatangannya yang kedua, kami mengkonfirmasi keberadaan titipan tersebut. Neles Tebay juga mengaku dirinya yang menunjuk lima juru bicara Papua di luar negeri. Bagi saya, ini adalah strategi yang digunakan Indonesia untuk mengacaukan komunikasi diantara kami.
AW : Ini hal yang baru bagi saya Pak Simon. Kita lanjut ke pertanyaan berikutnya. Apa yang menjadi fokus kerja Pak Simon bersama NGRWP saat ini?
SS : Prioritas kami mencari pengakuan terhadap Proklamasi 1 Juli 1971 karena tanpa pengakuan, kekuatan untuk melawan terlalu kecil. Ini langkah yang sudah diambil selama ini dan wujud dari upaya ini adalah NGRWP menjadi anggota Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO) yang memiliki kantor di dua negara yaitu Brusel dan Belanda. Ada banyak kemajuan yang kami peroleh setelah menjadi anggota UNPO. Selain itu, Senegal pernah memberikan pengakuan pada Proklamasi 1 Juli 1971 itu kepada Bernard Tanggahma.
AW : Demikian pelik kondisi perjuangan Bangsa Papua untuk meraih kemerdekaan Pak Simon, apa solusinya?
SS : Mendesak konsolidasi dengan semua pihak untuk duduk bersama melihat masalah ini dengan serius. Dalam waktu mendatang kami ajan berupaya melakukan konsolidasi dengan kelompok-kelompok perjuangan lain yang sudah kami targetkan.
AW : Pertanyaan terakhir Pak Simon, bagaimana gerakan sayap militer NGRWP setelah kematian Richard Yoweni?
SS : Kami sangat kehilangan pemimpin besar yang mengabdikan seluruh hidupnya di hutan rimba Papua demi kemerdekaan Papua ini. Walau demikian, kami tidak akan tinggal diam, sayap militer kami tidak mati. Kami tetap eksis memperjuangkan kemerdekaan Papua.
AW : Terima kasih banyak Pak Simon untuk wawancara ini, selamat malam.
SS : Sama-sama Aprila, Selamat Malam. (The Papua Journal/Aprila)
No comments:
Post a Comment